Itulah sebabnya kenapa Indonesia masih dipersepsi sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Hasil survei Transparency International memperinci IPK Indonesia tahun 2004, IPK Indonesia adalah 2,0 (peringkat 137 dari 179 negara); 2005 (2,2/peringkat 140); 2006 (2,4/peringkat 134); 2007 (2,3/peringkat 143); 2008 (2,6); 2009 dan 2010 (2,8).
Posisi tersebut sedikit lebih baik dibandingkan Vietnam (2,7/peringkat 116). Sementara Brunei (5,5/peringkat 38) merupakan negara terbersih kedua di Asia Tenggara setelah Singapura. Malaysia menempati peringkat 56 (skor 4,4) dan Thailand peringkat 78 (skor 3,5). Negara terkorup adalah Somalia, diikuti oleh Myanmar dan Afghanistan.
Penelitian Barometer Korupsi Global yang diselenggarakan Gallup Internasional (2009) menempatkan DPR-RI sebagai instasi paling korup dengan skor 4,4. Urutan selanjutnya adalah lembaga-lembaga peradilan dan partai politik.
Kebijakan otonomi daerah pun bukan hanya berimplikasi pada terjadinya pergeseran relasi kekuasaan pusat-daerah dan antar lembaga di daerah, melainkan memberi andil yang signifikan terhadap desentralisasi korupsi.
Local Government Corruption Study (LGCS) Bank Dunia (Rinaldi dkk. 2007), mengungkapkan bahwa desentralisasi mempeluangi maraknya politik duit oleh kepala daerah untuk memperoleh dan mempertahankan dukungan dari legislatif; pemanfaatan berbagai sumber pembiayaan oleh anggota legislatif sebagai setoran ke partai politik; dan --yang paling umum-- adalah keinginan untuk memperkaya diri sendiri.
Data dan pernyataan di atas menjelaskan dua hal penting. Pertama, tidak ada yang terlalu baru dalam modus operandi korupsi di daerah. Kompas.com (unduh 13/11) misalnya, memperinci 18 modus operandi korupsi di daerah yang secara umum berbingkai persekongkolan pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah.
Kedua, lingkaran utama korupsi di daerah ada pada pihak-pihak yang seharusnya memelopori pencegahan dan pemberantasan korupsi. Maraknya korupsi di daerah dipicu pula oleh inkonsistensi peraturan pusat-daerah serta minimnya porsi partisipasi dan pengawasan publik.
Penjelasan ilmiahnya? Korupsi itu bersumberkan dua hal pokok: kekuasaan kelompok kepentingan dan hegemoni elit (Sindhudarmoko, 2001). Sumber kekuasaan kelompok kepentingan cenderung berwawasan politik, sedangkan hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi.
Adapun piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan. Interaksi sumber dan piranti itu menimbulkan empat klasifikasi korupsi.
Pertama, manipulasi dan suap: interaksi antara penyalahgunaan kekuasaan dan hegemoni elit. Kedua, mafia dan faksionalisme: golongan elit menyalahgunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi.
Ketiga, kolusi dan nepotisme: elit mapan menjual akses politik dan menyediakan akses ekonomi untuk keuntungan diri, keluarga dan kroninya. Keempat, korupsi terorganisasi dan tersistem: korupsi yang terorganisasi dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik dari kekuasaan kelompok kepentingan.
Pembiaran terhadap tingkat korupsi yang tinggi (IPK rendah) akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan makin menyengsarakan rakyat. Celakanya, realisasi kehendak politik untuk memberantas korupsi sejauh ini ternyata jauh panggang dari api.
Hasil survei Jaringan Suara Indonesia (2011) misalnya, menunjukkan betapa rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja SBY dalam upaya pemberantasan korupsi, yaitu hanya 29,7%. Sementara yang kurang puas dan tidak puas sama sekali 61,8%.
Dari 15 janji kampanye SBY, baru tiga janji yang --menurut responden-- sudah terpenuhi. Pemberantasan korupsi termasuk ke dalam 12 janji kampanye yang masih tanda tanya besar (suarakarya-online, unduh 13/11).
Kontrol masyarakat terhadap perilaku dan tindakan korup penguasa dan elit, merupakan salah satu faktor kunci pemberantasan korupsi. Dalam forum diskusi organisasi mahasiswa ekstrauniversiter di Padepokan Simfoni Kebangsaan, saya pernah menawarkan peran masyarakat-kritis sebagai aktor pendorong pemberantasan korupsi di daerah.
Aktor pendorong pengungkapan kasus korupsi di daerah, menurut hasil studi LGCS bercirikan: (1) berpengetahuan dasar tentang peraturan/isu korupsi; (2) berakses terhadap dokumen anggaran/pengadaan/laporan pertanggungjawaban; (3) peranserta media massa dalam koalisi aktor pendorong; (4) pelibatan berbagai elemen kelompok masyarakat sipil.
Aksi dan strategi yang ditempuh oleh aktor pendorong: (1) membangun konstituensi atau basis-basis antikorupsi di tingkat komunitas; (2) membentuk koalisi sementara dengan menggabungkan berbagai elemen dan ormas; (3) membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk mendesakkan tuntutan proses hukum yang adil dan terbuka; (4) membangun kerjasama dengan aparat penegak hukum yang reformis.
Dari berbagai strategi tersebut, pelibatan media massa merupakan kunci keberhasilan aktor pendorong untuk melakukan tekanan selama proses hukum berlangsung. Meski kapasitas dalam melakukan kajian anggaran dan investigasi kasus masih terbatas, namun laporan aktor pendorong selalu menjadi kunci dimulainya proses hukum.
Penulis, dosen dan pemerhati kebudayaan