INI kisah perjalanan jurnalistikku ketika aku menjadi redaktur budaya di Harian Pagi Nirmala Post. Khususnya ketika aku mengantar Tia, seorang biduan dangdut muda belia, tiba-tiba kesurupan di tengah meruapnya pertunjukkan dangdut penuh aroma goyang cabul dan tebar sawer dari para penjoget.
Peristiwa itu seakan sebuah perjalanan takdir manusia yang telah dicatat di buku besar langit lauchul machfudh. Tak seorang pun mampu mendongkelnya atau menggeser. Maka hampir tak kupercaya ketika peristiwa itu menimpa Tia, gadisku! Sungguh peristiwa yang menakjubkan itu, oleh masyarakat pesisir pantai utara Tegal dikenal sebagai peristiwa mistik dan klenik.
Ya! Semula, peristiwa itu terjadi ketika Tia membawakan lagu Tragedi Jatilawang ciptaanku berlanjut lagu Mas Tommy, sekonyong-konyong terjadi sebuah peristiwa, yang sepanjang hidupku baru pertama kali aku saksikan. Seberkas cahaya putih entah dari mana datangnya tertangkap video kamera digitalku. Kejadian itu terekam saat aku menyisir aktivitas penjoget di pelataran pintu masuk di antara berjubelnya penonton.
Kameraku terus terarahkan pada sosok bayangan putih melayang-layang di atas langit-langit layos dan bablas menuju panggung melewati ubun-ubunku. Semerbak wewangian lebih dari sekadar bau minyak cendana menerjang hidungku.
Di bawah sorot cahaya lampu terang benderang, sosok bayangan putih itu manglih rupa atau berubah bentuk menjadi seorang putri cantik. Ia mengenakan gaun tipis bersulam sutra tembus pandang warna pupus. Sedemikian jelita ia mengenakan mahkota ratu dengan gerai rambut panjang kelam berkilauan bak mutiara. Belum pernah aku melihat wujud manusia secantik dia sekalipun dalam khayalan.
Putri cantik berwajah aristokrat dan berdarah bangsawan dengan sorot mata dingin, beku, sombong, dan angkuh itu tampil di layar kameraku begitu jelas. Aku ternganga dan sepanjang detik-detik berjalan takjub bukan kepalang meski seluruh anggota badanku mengeluarkan embun keringat dingin, dan aku kira wajahku pucat pasi seperti tak dialiri darah merah.
Video kamera digitalku tak sejengkal pun bergeser membidik gerak-gerik sang putri misteri itu melayang-layang di sekitar arena panggung. Dan subhanallah.... begitu mudahnya 'sang putri' menukik merasuk ke dalam tubuh Tia melalui ubun-ubun.
“Subhanallah… Subhanallah… Subhanallah….”
Bibirku berkali-kali menggumamkan Asma Allah. Tak urung tubuhku dililit udara dingin yang menggigilkan dan napasku memburu dengan dada terengah-engah seperti dikejar-kejar anjing.
Dalam gempuran gigilan tak henti-henti, aku tergesa-gesa menyimpan hasil rekam video dan kamera pun aku matikan. Aku ingin berteriak tapi bibirku kelu. Kerongkongan seperti menelan buah dukuh sebesar bulatan bola bekel. Yang aku sanggupi hanya mengulang menyebut Asma Allah dan membaca ayat suci Al Quran sebisa mungkin.
Ajaib! Daya kekuatan batin dan pikiranku tak terduga berangsur-angsur pulih dan normal kembali untuk menanti episode selanjutnya, yang mungkin bakal menyaksikan tontonan, entah bagaimana akhir dari peristiwa menakjubkan nanti.
Sebagai jurnalis kawakan dan telah digembleng berpuluhan tahun, peristiwa langka semacam itu pantang aku abaikan. Belum tentu momen mistik itu terulang dalam kejadian yang sama. Bener-bener sebuah penantian cukup mendebarkan!
Yang menjadi pertanyaan dalam benak kepalaku, adalah siapa gerangan putri misterius nan rupawan tiada tara merasuk ke dalam raga wadag Tia? Bidadarikah atau Maskumambang?
Pikiranku berputar-putar mencari pijakan reverensi. Dan sebagai orang yang lahir serta dibesarkan di daerah pesisir pantai utara Tegal, aku berani taruhan bahwa putri yang bergentayangan dan nyasar ke arena panggung pertunjukan di Sidakaton malam-malam seperti ini tak lain adalah Dewi Rantamsari, yaitu ruh halus penjaga pesisir Pantai Utara, Laut Jawa, yang biasa diperintah atau disuruh Pawang Sintren merasuk ke dalam tubuh Penari Sintren pada sebuah pagelaran.
Dalam sebuah Kesenian Sintren, mitos mistik Dewi Rantamsari berlatar belakang percintaan membara antara Ki Joko Bahu, putra Raja Mataram Sultan Agung dengan dirinya.
Percintaan mereka ternyata mendapat larangan keras dari Sultan Agung. Untuk memisahkan jalinan asmara mereka, Sultan Agung memerintahkan Ki Joko menyerang VOC di Batavia. Ki Joko melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Dewi Rantamsari, Ki Joko memberikan saputangan sebagai tanda cinta dan kesetiaan.
Tak lama terbetik kabar bahwa Ki Joko gugur dalam medan pertempuran , sehingga Ramtamsari begitu sedih mendengar orang yang dicintai telah mati. Tapi terdorong oleh rasa cintanya yang mendalam dan begitu besar, Dewi Rantamsari melacak jejak gugur sang kekasih.
Melalui perjalanan sepanjang wilayah Pantai Utara ia menyamar menjadi seorang Penari Sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan saputangan pemberian Ki Joko, mereka dipertemukan kembali dan hidup sebagai pasangan suami istri sampai akhir hayat.
Cerita itu sudah aku pahami betul karena sejak usiaku belasan tahun pagelaran Kesenian Sintren sering aku tonton, sampai pada peliputan tugas jurnalistik tak pernah aku abaikan. Jadi, aku punya kepastian betul bahwa ruh yang ngendon dalam tubuh Tia tak lain adalah Dewi Rantamsari.
Batu baterai kamera cepat-cepat aku ganti dengan yang baru. Aku menunggu detik-detik penuh debar dengan kamera tetap dalam posisi on. Di sudut panggung paling depan aku mengambil posisi dengan mata tak berkedip sesekali menjepret beberapa adegan. Usai itu menu video aku hidupkan lagi untuk mengabadikan jalannya pertunjukan. Dalam layar kameraku terlihat para penjoget mengulurkan uang sawer. Musik dacappo mengalir, Tia mendendangkan bait awal lagu.
Mas Tommy aduh Mas Tommy
Mas Tommy cowok slingkuhku
tak arep-arep nang malam minggu
Mas Tommy mesra merayu
kebek madu mendayu-dayu
Mas Tommy buluh perindu…
“Tobaatttt….kayong sungkan mati kyèh. Yahèèrrrr….” teriak Kang Warto disambut ketawa para penjoget yang lain.
“Iya Kang! Kayong ora émut sapa-sapa….”
Mata kameraku memantau aksi gerak-gerik perjoget. Tapi agaknya status profesi kewartawanku menjadi tameng tersendiri bagi Tia hingga perlakuan mereka tidak sertamerta sekepènaké wudel sebagaimana yang dilakukan mereka kepada teman-teman Tia, tak ubahnya barang mainan untuk diajak joget macam-macam bahkan sampai 'goyang' sesungguhnya.
Awal kenalan nang kafé impian
Mas Tommy yahèr mlastar gayané
Dadi rebutan nang kafé impian
oké dandané kaya wong gedongan
Aku kepencut karo Mas Tommy
samana uga Mas Tommy kepilut
Dengan suara lantang Tia menderaikan refrain laguku itu. Suasana semakin sumringah. Kamera terus aku bidikan ke mana Tia beraksi memberi pelayanan pada para penjoget satu per satu secara bergantian. Demi Tuhan, aku dibakar cemburu.
“Bangsat!” aku memaki diriku sendiri. Begini rasanya aku bercinta dengan sang biduan meski semua itu hanya sekadar pelayanan agar para penjoget merasakan kepuasan, tak urung dadaku berkecamuk oleh gejolak.
“Ini namanya siapa mas?” kata Tia seraya mendekati lelaki berkumis tipis mengenakan baju kotak-kotak.
“Santo!”
“Yang ini siapa?”
“Cagut.”
“Haaiiii….Mas Santo…Mas Cagut. Asyiikkkkkk…,” celotehnya menimbulkan rasa tidak keruan dalam dadaku. Beginilah rasanya berpacaran dengan pedangdut.
Saiki Mas Tommy cuma bayang-bayang
kafé impian dadi lamunan
Saiki Mas Tommy nang endi parané
langka kabaré langka britané
Aduh kejem nemen
Mas Tommy karo aku
ninggal botol racun mèrk madu…
Tia menyelesaikan putaran refrain terakhir disusul bait awal sambil menari dengan gerakan ke sana-kemari seperti bukan kehendaknya sendiri. Terkadang ia malah mendekati para penjoget satu demi satu dengan gerakan syurnya. Aku merasakan Tia berjoget dan menari ada yang mengendalikan. Bola matanya terpejam, dingin, kaku, dan rona mukanya sangat angkuh namun ia sangat awas menyambangi para penjoget. Tak ubahnya tarian dia seperti gerakan Penari Ronggeng atau Sintren.
“Ah…ah…ah…ser….”
Dari mulut Tia aku mendengar desir gumam cabul. Aku tidak habis pikir. Tapi tak urung mata kamera aku hidupkan lagi dan membuka menu video. Lantas aku mengarahkannya ke atas panggung mengikuti kemana langkah Tia berpolah.
Musik menderu-deru. Celoteh para penjoget semakin tak ada aturan melihat gaya Tia semakin edan-edanan.
Tiba-tiba, ruh Dewi Rantamsari yang bersemayam dalam raga Tia melesat ke luar melalui ubun-ubun.
“Subhanallah…subhanallah…subhanallah…” bibirku menggumam Asma Allah berulang kali.
Aku tidak tahu apakah para penjoget, pemusik, dan penonton melihat kejadian itu? Embuh temenlah! Yang jelas, dihadapanku terampar peristiwa penuh misteri dan mencengang pikiran sampai bulu kudukku merinding!
Di tengah rasa cekam merancau membelit jaringan seluruh anatomi tubuhku, sekonyong-konyong Tia jatuh terjerembab usai menyudahi lagu penghabisan. Aku terkesiap dan orang-orang di atas panggung seketika menghentikan joget begitu juga pemain musik. Mereka seakan-akan mendengar komando untuk menghentikan permainan musiknya menyebabkan suasana peralihan dari ingar-bingar menjadi senyap mendaulat. Tapi semua itu berlangsung hanya sekedipan mata, berubah menjadi suasana hiruk-pikuk seperti ada puting beliung. Mereka berpandangan.
“Wadaw! Biduané pingsan mas! Tia semaput….”
Mereka geger dan gelisah melihat tubuh Tia tergolek. Um Kriwil pontang-panting keder melihat kejadian tak terduga-duga. Para pemusik bergerak maju.
“Bagaimana ini?”
“Gotong…gotong…gotooonnngggg…..!”
“Bawa masuk. Angkat rame-rame!”
Aku berlari menaiki undakan tapi belum sampai ke tengah panggung, kakiku terantuk sepatu bot biduan. Tubuhku terhuyung-huyung.
“Aaaa…!”
Telingaku mendengar jeritan para biduan.
Seseorang dari pengusung tubuh Tia yang hendak turun dari panggung menabrak tubuhku. Kamera di tanganku terpelanting dan aku mendengar suara benda jatuh sedemikian kerasnya: Prak! Prak! Prak….!
Dalam keadaan panik dan sakit, aku berusaha bangkit hendak memburu kamera tapi tubuhku membentur keyboard. Seseorang bergegas berusaha menahan jatuhnya alat musik itu namun karena tergesa-gesa badan dia malah menabrak kepalaku. Tak ampun lagi, orang itu terjerembab jatuh bersamaan alat musik itu roboh menimbulkan suara berdebam. Orang-orang berteriak-teriak. Tapi di tengah teriakan mereka, telingaku sempat mendengar kepanikan orang-orang yang mengusung Tia.
“Kasih jalan mas…tolong kasih jalan! Biduannya pingsan!”
“Langsung masuk saja mas! Bawa ke kamar.”
“Minggir…minggir….”
“Kasih jalan! Jangan di depan pintu!”
Kisruh betul suasana malam itu, massa berlarian ingin tahu apa yang sedang terjadi.
Aku bersusah payah seperti orang mengendap-endap dan merangkak-rangkak dengan tanganku meraba-raba ke segala sudut mencari kamera. Aku berharap, sekiranya kameraku pecah berantakan, asal chip memori penyimpanan data foto dan hasil rekaman peristiwa itu bisa aku temukan.
Masih aku dengar derap langkah dan keriuhan massa merangsek berlarian menuju rumah yang punya hajat. Keinginan mereka mengetahui sebab akibat kejadian itu begitu kuat.
“Mulanya gimana sih? Kok sampai pingsan segala?”
“Embuh! Tidak ngerti tuh! Tanyai sendiri panitianya.”
“Kecapaian kali!”
“Gara-gara goyang terlalu hot, akibatnya ya seperti itu….”
Dan berbagai sangkaan asal-asalan saling berloncatan dari mulut mereka. Pada tahu apa mereka? Bercuap-cuap seenak udel? Kalian tidak banyak tahu, ngerti apa?
Lorong dan kisi-kisi kursi, audio monitor, tumpukan kendang, dan segala sudut panggung aku kosek-kosek tak ubahnya seperti anak kecil yang tersesat mencari ayah ibu di tengah keriuhan lautan massa dalam satu tontonan atraksi marching drumband, tapi usahaku sia-sia tetap tak menemukan benda yang aku cari.
Cukup lama aku sibuk dengan diri sendiri tanpa lagi mempedulikan suasana sekeliling. Aku menyumpah-nyumpah dan mengutuki orang yang menabrak diriku.
Aku turun dari atas panggung dan mataku menelusuri tepi-tepinya.
“Cari apa mas?” seseorang bertanya.
“Kamera,” aku menjawab tapi tanpa melihat siapa yang bertanya.
“Oh….”
Orang yang bertanya berlalu. Di sampingku orang-orang berseliweran. Deretan kursi tamu undangan terlihat sepi. Semua beranjak memburu ke tempat tinggal yang punya hajat. Telingaku kembali mendengar teriakan lantang.
“Bubar…bubar! Tahu ada orang pingsan, berkerumun di sini ngapain?!”
Naik turun panggung aku bolak-balik mencari kamera. Alhamdulillah… teronggok di sudut kursi paling belakang aku menemukan kameraku tapi dalam ujud yang sudah merana. Layar kamera pecah, tutup dan dua baterai charger entah kemana. Tapi yang menyedihkan sekali tangkai zoom kameraku patah bersama lenyapnya chip memori card. Aku dibuat tertegun dengan perasaan amat pedih dan terpukul.
Aku sia-sia mencarinya sekeping chip sampai akhirnya aku termangu-mangu di sudut panggung dengan napas terengah-engah sedang bibirku kelu membeku bisu. Mataku menerawang hampa. Berbagai perasaan galau, merancau, getir, kisruh, dan seperti orang telantar berkecamuk melilit-lilit mendera kesadaranku. Aku merasakan jiwaku dibetot, disayat sembilu, dan melesat merangkak ke pangkal pagi. Lalu pada batas titik kesadaranku paling terendah, jiwaku oleng dan drop!
Aku tersedu-sedu dan sesenggukan menangisi semua data yang tersimpan di chipku, hilang tanpa kerana! ☼